Malam berikutnya emak masih letih, dan Agus menggantikan emak menunggui sawah agar air tetap masuk ke dalamnya. “mak saya pergi mak” kata Agus, “ya hati-hati nak” jawab emak dari dapur.
Kaki mungil Agus mulai menyelusuri malam yang gelap dengan bermodalkan senter dan parang di tangan, selangkah demi selangkah di ayun menuju persawahan yang jauh dari perkampungan masyarakat, lebih kurang 2 kilo dari rumahnya.
Akhirnya Agus sampai di sawah, dari kejauhan nampak kelebatan lampu senter sebesar korek api, menandakan ada orang lain disekitar sana, makin lama makin mendekat dengan sinar senter tadi, ternyata itu senter si Kutaik, yang pernah menipu emak kemaren, “ee..Agus, mana emakmu, ko kamu yang ke sawah, kamu kan masih kecil” kata Kutaik, “emak letih dan tidak bisa pergi” jawab Agus dengan sopan.
Malam makin larut, mata mulai ngantuk, “pak Kutaik, gimana kalau kita bagi aja air, setelah itu kita pulang” ungkap Agus memecah keheningan malam, “ya mata ini juga sudah ngatuk, kita pulang dan kita bagi aja air” jawab Kutaik. Mereka pulang beriringan, Agus di belakan dan Kutaik di depan, sampai dipersimpangan jalan, Kutaik mulai menyelusuri jalan menuju kerumahnya, dan Agus pun demikian.
Separoh perjalanan Agus berhenti, dan melihat Kutaik masuk ke dalam rumahnya, “sekarang waktunya saya menipu si penipu’’ gumam Agus, dengan memutar kakinya, Agus kembali menerobos kegelapan malam dengan ditemani suara jengkrik di sana sini, dan sesekali desiran angin menambah kesunyian malam makin terasa.
Akhirnya Agus sampai di sawah tempat pembagian air dengan Kutaik, Agus duduk di sana setelah menutup air ke sawah Kutaik, mata makin mengantuk namun tetap dilawan, dan menjelang subuh Agus pun pulang, sesampai di rumah, terdengar suara emak menyapa “kenapa lama pulang Agus”, dengan lugu Agus menjawab “malam saya sudah pulang sama-sama dengan Kutaik, tapi setelah Kutaik masuk rumah saya kembali ke sawah”, emak hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar cerita anaknya, “yaaa ternyata dia telah membalas perbuatan si kutaik” gumam emak .