SUNNATULLAH DALAM SECANGKIR KOPI

HAMTIPP

Oleh : Junaidi, SHI., M. Hum (Kandidat Doktor Alumni MTI Candung)

Ada dua hal yang ingin disampaikan dalam coretan ini. Sunnatullah dan secangkir kopi. Sunnatullah pada dasarnya terdiri dari dua kata (kalimat), yaitu sunnah dan Allah. Dalam kamus al-Ma’a>ni{, kata sunnah tercakup dalam beberapa makna, yaitu tradisi, kebiasaan, aturan, norma, ketentuan, ketetapan, peraturan, dan sunnah itu sendiri. Sedangkan Allah (ألله) merupakan Zat Yang Wajib Wujud. Ketika kata sunnah diidhafatkan kepada lafal Allah, maka maknanya boleh jadi kebiasaan, aturan, norma, ketentuan, ketetapan, atau peraturan yang dibuat langsung oleh Allah tanpa ada unsur campur tangan makhluk-Nya.

Sementara secangkir kopi lazimnya kita sudah paham, yaitu racikan minuman yang terdiri dari bubuk kopi, air, gula, kemudian diaduk dalam sebuah gelas. Kopi tidak lagi berupa butiran buah seperti dari batangnya, melainkan sudah diproses melalui cara tertentu mulai daru yang sederhana hingga modern. Kopi di sini adalah bubuk yang sudah dihancurkan. Air untuk mengaduk kopi harus panas mendidih di atas 100 derajat celcius. Begitu juga gula dengan berbagai jenisnya: gula aren, gula tebu, atau gula yang diolah dari ilalang. diperoleh lah rasa kopi, kadang ada manis dan di lain masa terasa pahit. Kopi enak adalah kopi yang memenuhi unsur-unsur disebutkan di atas dengan kualitas pilihan.

Kehidupan manusia sebagai satu-satunya makhluk sempurna (ahsan taqwim) merupakan sunnatullah dan kesehariannya bagaikan secangkir kopi. Ia terlahir, anak-anak, remaja, dewasa, tua, lalu wafat sebagai siklus normal dari sebuah racikan kopi tersebut. Semuanya sudah ada begitu saja sejak kita dilahirkan. Tak ada yang bisa lepas dari siklus itu, dan harus diterima dalam keadaan rela atau terpaksa. Ada saatnya terasa manis, di lain waktu pahit dan getirnya kehidupan menyapa manusia yang semua itu sebagai sebuah kenikmatan. Dibalik kelahiran manusia yang diterima apa adanya, ada bekal yang disiapkan Allah untuk hamba-Nya yang dhaif (lemah) ini. Bekal itu berupa potensi yang tersimpan dalam anugerah akal pikiran. Maka akal lah yang mengolah unsur-unsur kehidupan ini sehingga manusia menjadi baik yang dalam istilah kopi tadi renyah, lezat dan enak. Anugerah akal pikiran akan semakin berkilau potensinya ketika disirami oleh air pengetahuan yang dibimbing pula oleh petunjuk-Nya.

Termasuk sunnatullah juga bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia harus berpasang-pasangan untuk melanjutkan kehidupan bakal manusia berikutnya. Inilah yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya “Dari segala sesuatu telah kami ciptakan berpasang-pasangan” (QS. Al-Dzariyat: 49). Berpasang-pasangan di sini merupakan sunnatullah yang harus diracik dengan baik agar tidak menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan sunnatullah. Racikan untuk mendapatkan pasangan sama lah dengan meracik minuman kopi sehingga renyah dan lezat untuk dinikmati. Pasangan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan itu harus memiliki standar seperti yang diinginkan oleh Penciptanya. Bagaimana pola standar laki-laki dan perempuan ini? Nanti akan dibahas pada coretan berikutnya. Untuk saat ini, marilah kita nikmati rasa pahit dan manisnya kopi yang sudah disuguhkan…

Spread the love