Oleh Mychel Deanita Nim 2360202011, Mahasiswi Prodi Ekonomi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Provinsi Sumatera Barat ( UNU Sumbar)
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan alkhulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M).
Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.
Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya,orang yang disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jama’ahitu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan AlAsy’ari) sepertiAl-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Jauh sebelum itu, kata sunnah dan jama’ah sudah lazimdipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihatdalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim padatahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wanasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari IhyaUlumuddinnya Al-Ghazali:
“ jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi”
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahamanteologis (Aqiedah) Islam.
Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain sepertiKhawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologiAswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada parasahabatnya.
Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepadagenerasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan olehgenerasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita.
Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan denganini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.5
Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadapfaham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam”yang ekstrim.
Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara laindipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan olehmanusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan, karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambahdengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkatakepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukanmazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah.
Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apayang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dandalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional), karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal denganistilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun.
Berkait dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep.
Dosen Pembimbing : Kiai Eri Gusnedi, S. Pd. I, MA Dosen UNU Sumbar