BAGIAN 36
WAHAI Pencinta KAJIAN ISLAM dan JAMAAH MAJLIS TA’LIM di mana saja berada.
KAJIAN ISLAM selanjutnya adalah WARA’.
WASPADALAH DUNIA ITU PENUH TIPUAN
Untuk itu mari kita bersikap dan bersifat WARA’ atas segala ragam dan model kehidupan yang diberikan oleh Allah kepada kita dalam berbagai situasi dan kondisi apapun, agar nafsu, akal dan hati ini tidak kemana-mana tapi ada bersama Allah dalam ketaatan. YAKINLAH DUNIA ITU TIPUAN
- WARA’ DAN HAKIKATNYA
Menurut Qatadah dan Mujahid, Wara’ artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri di sini dikiaskan dengan pakaian. Menurut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu ke-durhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutan tahiruts-tsiyab (bersih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan suka berkhianat disebut danisuts-tsiyab (kotor pakaiannya). Menurut Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu.
Menurut As-Suddy, biasa dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, “Bersih pakaiannya”. Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, “Kotor pakaiannya”. Menurut Sa’id bin Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya. Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang dibersihkan adalah akhlaknya. Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, “Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa membersihkan pakaian.
Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu, karena dengan memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya.
Tapi yang benar adalah pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat. Tidak dapat diragukan bahwa membersihkan pakaian dan memendekkannya termasuk cara membersihkan yang diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal dan akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang berdiri di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran itu. Maksudnya, wara’ dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian zhahir dan batinnya.
Karena itu pakaian seseorang saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu berpengaruh terhadap yang lain. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang demikian itu berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.
Nabi Saw. telah menghimpun keseluruhan wara’ dalam satu kalimat, “Diantara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua gerakan zhahir dan batin. Pernyataan beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalam hakikat wara’.
Ibrahim bin Adham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebihan.” Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan secara marfu’ kepada Nabi Saw, ” Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah.
Menurut Abu Sulaiman Ad-Darany, wara’merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan merupakan permulaan ridha. Menurut Yahya bin Mu’adz, wara’ artinya berada pada batasan ilmu tanpa melakukan ta’wil.
Wara’itu ada dua sisi: Wara’zhahir dan wara’ batin. Wara’ zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata, sedangkan wara’ batin ialah tidak memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia ke dalam hati.
Siapa yang tidak melihat detail wara’ tidak seseorang akan bisa melihat besarnya anugerah.” Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah dari pada wara’, yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah.”
Menurut Yunus bin Ubaid, wara’ artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab diri sendiri setiap saat.
Menurut Al-Hasan, wara’ seberat dzarrah lebih baik dari pada shalat dan puasa seribu kali. Menurut sebagian salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia meninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya. Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan,”Wara’ adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan.” Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga.
Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehormatan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal yang hina dan keburukan, sekalipun dia tidak percaya kepada surga dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan terhadap orang yang menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bisa karena menghindari ancaman atau karena pengagungan terhadap Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena dorongan takut atau pun pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta. Artinya, orang yang mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya. Bagi seseorang berada pada posisi wara’, cinta tertinggi itu hanya kepada Allah, sedangkan cinta kepada selain Allah adalah sementara.
Walluhu a’lam.
Wahai sahabat-sahabat dan kaum muslimin, hadapilah kehidupan ini dengan WARA’LAH TERHADAP KEHIDUPAN INI, YANG NAMANYA DUNIA TETAP SAJA MENGGODA DAN TIPUAN SEMATA KARENA ANTARA YANG MENIPU DENGAN YANG DITIPU TIPIS SEKALI
DARI SALMADANIS PUSAT DAKWAH, STUDI ISLAM DAN MAJLIS TA’LIM SUMBAR.
36