Pepatah lama mengatakan di Sumatera Barat (Sumbar) mengatakan, “padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak”
Artinya, padi (gabah) panen, sedangkan komoditi jagung sudah mulai matang yang masih bertengger dikelopah batang jagung menyusul untuk dipanen.
Sedangkan taranak (ternak) sapi, kerbau, kambing, ayam, itik atau sejenisnya sedang berkembang biak kapan pun bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan serta biaya keluarga.
Bicara tentang hidup petani secara moderen dan efesien. Dicontohkan begini, misalnya. Jika lebar sawah 2 meter dan panjang sawah hanya 3 meter yang terletak di daerah ketinggian atau sawah yang terletak diperbukitan berjenjang, maka mengolah sawah tersebut efesienya diolah tanah sawah tersebut dengan menggunakan cangkul.
Tetapi jika lebar sawah itu puluhan meter bahkan lebih dari itu maka mengolah areal sawah itu moderennya dengan menggunkan traktor.
Kita perlu mengenang masa lalu 48 tahun kebelakang. Apa yang digambarkan diatas itu tentang padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak.
Keluarga kunya balubua (lumbung padi) terisi penuh setelah panen padi.
Sedangkan komoditi jagung hampir setiap pekan kami menjualnya ke pasar. Dan, ternak ayam, itik serta telur ayam dan telur itik keluarga kami setiap hari pekan menjualnya ke pasar.
Kenapa demikian. Kita perlu mengingat dan mengenangnya. Saat kita di sekolah dasar (SD) kita tak kenal dengan beras miskin (raskin) seperti sekarang ini. Tak pula kenal kita dengan sayuran yang sudah layu. Sayuran yang dimasak semuanya sayuran segar baru dipetik dari ladang (kebun).
Jika ditelisik, kampungku yang berjarak sekitar 65 kilometer dari ibukota propinsi.
Dengan mengingat masa lalu, sekarang saya merasakan bahwa zaman dahulu kalanya orang (rakyat) petani hidup secara moderen dan efesien.
Lebih jauh dari itu. Yang dimasak oleh satu keluarga bahan pangan-nya serba baru. Cabe baru dipetik, bawang tinggal petik. Ingin masakan ayam dan itik tinggal tangkap ayam piaraan untuk dimasak jadi panganan. Lebih enak rasanya kuliner dengan bahan pangan yang serba baru.
Tak seperti gaya hidup orang zaman sekarang. Ingin sayuran, ikan, dan ayam ditimbun dilemari pendingin sudah sekian hari baru dimasak. Akibat prilaku menimbun bahan pangan harga bahan membubung tinggi. Pasokan listrik buat lemari pendingin jadi meningkat tarif penggunaan listrik.
Sekarang saja harga cabe lumayan murah akibat dari PSBB covid 19 yang baru lalu, rakyat karena jarang masak.
Akibat dari itu, karena rakyat sekarang sudah pemalas lebih senang jadi pemelas. Ada lahan diperkarangan menanam komoditi kebutuhan bahan dapur, semuanya serba beli atau serba minta sama tetangga yang hanya kunyit, serai, atau apalah namanya yang berkaitan dengan bumbu masakan. Pada hal status sosialnya adalah petani.
Harga cabai dan bawang saat melambung tinggi, petani yang pemalas itu pun ikutan pula mengeluh. Padahal dia statusnya petani yang hidup dinegeri pedesaan, bukan kota.
Kalau orang mengeluh dengan harga cabai dan bawang serta komoditi lainnya serba beli hal wajar. Karena orang hidup dikota dengan menjual jasa, bukan sebagai petani.
Tetapi gaya hidup orang desa tak obahnya seperti gaya hidup orang dikota padahal dia petani. Akhirnya, sampai bahan rempah pun serba dibelinya, kunyit, serai, cabe, bawang, serta sayuran buat bahan kuliner masakan dalam keluarganya.
Akibatnya, pemerintah jadi kerepotan mengurus barang inport yang hanya cabai, bawang, yang seyogianya bisa ditanam dilingkungan pekarangan rumah.
Cabe setiap hari berbuah bisa dipetik setiap saat. Kalau kita contohkan semuanya tak kan cukup air liur ku untuk tintanya.
//Kiranya, Ada Polisi Berjiwa Petani//
Kalau kita baca diberbagai media. Sekarang polisi ikut jadi petani. Lahan tidur digarap dan disewa. Polisi mensupport petani untuk lebih giat lagi bercocok tanam.
Komoditi bawang dilirik untuk dibudidayakan bersama petani.
Inovasi Polres Bukittinggi diaesiasi oleh Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto terpikat langsung mendatangi lahan pertanian ladang bawang yang digarap Bhabinkamtibmas Polsek Baso Aipda Junaldi bersama kelompok tani (gapoktan) serumpun bawang, pada 4 Juni.
Lahan tidur yang telah dimanfaatkan Aipda Junaldi pantas dipuji bersama galoktan serumpun bawang binaanya yang telah menghasilkan produksi bawang merah 2 ton dengan rentang waktu 70 hari.
Kegiatan kreativitas Aipda Junaldi bersama petani pantas diacungkan jempol dan diapresiasi oleh kalangan mana pun.
//Sedangkan Dimanakah Mahasiswa Pertanian Perguruan Tinggi di Negeri Ini//
Berkaca dari aktivitas Polisi Aipda Junaldi mensugesti petani.
Saya jadi ingat kemanakah mahasiswa pertanian perguruan tinggi di negeri ini.
Ini cemeti dari polisi pada petani. Tetapi patutkah mahasiswa pertanian berdiam diri seyogianya yang lebih bisa melecut petani. Jangan ketika isu harga bahan pangan melambung tinggi mahasiswa perguruan tinggi hanya sibuk berorasi. Yang dibutuhkan rakyat adalah bukti, bukan berorasi.
Dinegeri yang agrari petani ikutan serba beli bahan pangan yang seyogiayanya bisa ditanam dilahan pekarangan atau dilahan pertanian sendiri.
Polisi telah berempati mensupport petani lalu bagaimanakan pula mahasiswa pertanian di perguruan tinggi.
Sudah saatnya pula mahasiswa fakultas pertanian diberbagai perguruan tinggi tak lagi berpangku tangan.
Mahasiswa pertanian tempatnya di areal pertanian bukan dibangku sandaran.
Begitu juga rakyat yang berstatus sosial kehidupan sebagai petani. Tak moderen pula jika petani serba beli untuk bahan dapur.
Petani moderen dia punya ide. Bahan dapur memang semuanya ada dijual dipasar. Tetapi petani moderen dia tinggal petik untuk kebutuhan bahan dapur dari kebunnya. Semoga saja demikian petani keren dan petani moderen.
//Polisi Berupaya Berkebun Pepaya//
Yang jadi menarik bagi kita bukan kebun pepaya-nya tetapi rasa peduli dari polisi yang telah mensugesti petani.
Sekarang, polisi masa kini. Ide sendiri dari polisi dapat menciptakan lapangan kerja serta sumber rezeki bagi petani, itu pun petani yang menerima upah jadi buruh di negeri sendiri. Apalagi kalau petani telan ikut sebagai anggota kongsi tentu hasil produksi jadi melimpah buat rezeki sendiri.
Penulis bukan bertalenta suka memuji. Tetapi petani perlu berkaca diri.
Seorang polisi tak ada anggaran bantuan dari pemerintah lewat subsidi, tetapi mau menggagas petani.
Di baca kunjungan Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto, MH berkunjung di dua kebun pepaya, dalam Kabupaten Padang Pariaman, Kamis (11/6).
Ternyata, ada polisi berpangkat Kompol Jon Hendri, SH berjiwa petani di Batu Basa Nagari III Koto Aur Malintang Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kabupaten Padang Pariaman, yang sedang menjabat sebagai Kasat Intelkam di Mapolres Kota Padang.
Kebun pepaya Jon Hendri dikunjungi dua orang nomor satu di propinsi Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto dan Gubernur Irwan Prayitno.
Yang lebih menarik bagi kita diladang Jon Hendri telah dapat bekerja sebanyak 8 orang pada areal seluas 7 hektar dengan hasil produksi panen 3, 5 ton perminggu, dengan upah pekerja 85 ribu rupiah perhari, upah yang lumayan bagi pekerja harian.
//Ada Yang Asyik Untuk Dilihat Bagaikan Buah Pepaya Terjuntai//
Buah pepaya semua orang sudah kenal. Juga nyaris semua suka pepaya.
Jika di survey dipasar pasar ibukota propinsi rata rata harga buah pepaya sekira 6 ribu rupiah perkilogramnya. Harga buah yang lumayan mahal di pasaran. Jika pedagang beli dikebun langsung tentu tak senilai harga dipasaran ibukota propinsi, biasanya pedagang cari untung.
Menjadi sebuah pertanyaan. Jika harga buah tetap saja mahal. Kapan lagi untuk menyehatkan badan dengan suka makan buah.
Jika ditelisik dari fenomena itu-bukan Jon Hendri-nya jadi manarik dalam tulisan ini. Tetapi tingkat ketergantungan penduduk Sumbar akan bahan pangan komoditi beras sangat tinggi.
Pada hal komoditi beras bisa diselingi dengan bahan pangan yang lainnya seperti, ubi jalar, ubi kayu, talas, jagung, serta biji bijian dan umbi umbian lainnya.
Tetapi areal pertanian yang dimiliki warga secara mandiri, areal pertanian ini jadi korban urban karena pemilik lahan lebih suka hidup diperantauan.
Harga komoditi umbi umbian pun di Sumbar juga mahal apalagi harga buah buahan.
Lihatlah ke pasar harga singkong dan ubi jalar pun mencapai 8 ribu rupiah perkilogram.
Jangan ditanya lagi harga buah pisang buat pisang goreng tarifnya selangit lalu siapa yang peduli.
Kebiasaan orang awak cenderung suka serapan pagi yang identik dengan serapan pagi berbagai model lontong pagi serta lontong malam yang berbahan pangan beras.
Tetapi jika orang awak saat ditanyakan padanya pada jam makan siang, sudah makan apa belum.
Jawabannya pasti, belum. Padahal ia sudah makan lontong yang berbahan dari beras.
Sedangkan kecenderungan orang awak makan itu adalah makan yang dilengkapi dengan lauk pauk daging ayam, ikan dan telur.
Jangan dikira orang awak tak suka dengan kudapan yang berbahan pangan umbi umbian. Tetapi pedagang kudapan ini pun keberatan berjualan gorengan karena bahan dasarnya seperti ubi ubian dan buah pisang mahal di pasaran. Pedagang kuliner tak untung makanya lebih suka jual lontong bergulai nangka atau cempedak atau dengan gulai paku dan rebung bambu yang tak ada gizinya.
Lalu siapa yang punya andil menggerakan agar lahan terlantar ditanami ubi ubian. Jika berkaca dari program pemerintah pastilah ada muatan politisnya baru bisa jalan. Atau seberapa besar atau juga seberapa puluhan miliar anggarannya untuk setingkat dusun, kegiatan yang penuh dengan padat sosial. Biar pemerintah rugi dengan kucuran anggaran yang digelontorkan asalkan tercipta lapangan kerja walau pun tak tercapai keuntungan jadi investasi, yang penting rakyat dapat pekerjaan. Jika konsep seperti ini takkan maju maju petani di negeri ini.
Coba lihat swasta, kalau tak untung jadi petani tak mungkinlah dia bisa bertahan hidup jadi petani.
Kita juga pun ikut mengapresiasi polisi mau jadi petani untuk mensupport petani. Karena polisi jadi petani tak ada muatan politik.
//Lagi, Polisi Jadi Petani//
Tersebut polisi jadi petani adalah Brigadir Indel Supriadi tanam komoditi jagung di areal seluas 12 hektar dengan hasil produksi 50 ton selama per 3 bulannya, dengan menyerap tenaga kerja 15 orang dengan upah harian 85 ribu perhari perorangnya.
Indel Supriadi berpangkat Brigadir Indel Supriadi sekarang menjabat sebagai Bhabinkamtibmas anggota Polsek Sungai Limau Polres Pariaman.
Perihal polisi jadi petani bukanlah hal gampang atau mudah. Apalagi diatas lahan sewaan. Taruhannya adalah sebuah kerugian jika gagal panen. Tetapi jika masih sanggup membayar gaji kuli kebun tentulah dianggap usaha pertaniannya masih menjanjikan.
Bagi kita bukan itu-nya lagi yang menarik, tetapi yang menarik itu adalah zaman gini ternyata masih ada polisi berempati, mensugesti, mensuppot petani agar lebih giat lagi mengolah lahan ditanami dengan berbagai jenis komoditi tumbuhan yang dapat menghasilkan.
//Kita Bukan Memuji Polisi, Tapi Ini Bukti//
Jika dilihat tanggal pelantikkan Kapolda Sumbar Irjen Pol Drs Toni Harmanto, MH oleh Kapolri pada Tanggal 16 Desember 2019-jadi, hingga tanggal 16 Juni 2020 ini, Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto, genap setengah tahun atau 6 bulan menjabat sebagai Kapolda Sumbar.
Selama 6 bulan Kapolda Sumbar Toni Harmanto berkiprah di Sumbar beragam kegiatan telah rampung selama pandemic covid 19, ini telah me-wabah, tak terkecuali juga corona virus mematikan covid 19 ikut menerjang bumi rang minang-Sumbar.
Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto terpikat dengan kegiatan mitranya sesama polisi antara atasan dengan bawahannya.
Telah tiga orang polisi teruji jadi petani. Satu orang polisi berladang dengan kelompok tani serumpun bawang di daerah Kota Bukittinggi, dan 2 orang polisi juga mensuport petani pada daerah berbeda di resort Polres Pariaman-Kota Pariaman serta Kabupaten Pariaman.
Memang kebutuhan bahan pangan yang teramat dibutuhkan apalagi dimasa pandemic covid 19 yang masih saja meng-hantui negeri ini.
Secanggih apa pun perkembangan teknologi diberbagai lini diseantero diatas planet bumi ini. Namun komoditi akan kebutuhan bahan pangan tak bisa diabaikan.
Karena kebutuhan bahan pangan manusia adalah dari biji bijian, umbi umbian, buah buahan dan segala jenis sayuran.
Dengan teori bagaimana pun cara mengolah bahan pangan agar jadi makanan dan panganan serta jadi bahan minuman adalah dari hasil pertanian.
Baik untuk kebutuhan makan dan minum seorang raja pun tetap dari hasil pertanian.
Dan, sekaya seberapa pun kekayaan manusia dimuka bumi ini dia tetap membutuhkan bahan pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian. Makanya Kapolda Sumbar Irjen Toni Harmanto menjumpai anggota polisi yang senang bertani untuk dijumpai.
Ikhwal ini tak lepas dari Kapolda Sumbar Toni Harmanto guna memberi sugesti pada petani atau agar pihak lain juga ikut berempati untuk memberdayakan petani, disamping program pertanian yang digelorakan pemerintah. Semoga saja.**