Oleh: Obral Chaniago
Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang disebut juga negeri dabua ombak pasise yang membujur sepanjang 250 km lebih yang terletak digeografis dipantai barat pulau Sumatera.
Sedangkan kampung saya di negeri Bayang yang terletak diperempatan bujuran pantai Pessel sekitar 65 km dari ibukota Propinsi Sumbar, Kota Padang.
Dekat jika disikapi sesaat sebelum musim covid 19. Tapi sekarang terasa jauh disaat musim covid 19 yang sedang merebak diseantero permukaan planet bumi ini. Karena yang rindu dengan kampung halamannya hanya bisa diwakili dengan pengiriman barang lewat paket kargo mobil yang bertuliskan Antar Jemput Dalam Propinsi (AJDP) nopol plat kuning karena angkutan orang tak diberlakukan. Namun ada yang ikut numpang pada mobil bernopol plat kuning kargo itu setelah nyampai dibatas Kota Padang menuju Pessel harus turun dan naik ojek sejenak. Kemudian mobil kargo yang ditumpangi tadi harus menunggu sekira 5 menit sesampai penumpang orang naik ke mobil yang ditumpangi tadi agar sampai ke kampung tujuan arah ke Painan.
Itu pun harus dilakukan bagi yang tak menggunakan kenderaan milik sendiri. Jika tak demikian taktiknya tentu yang jadi korban mobil kargo nopol plat kuning AJDP itu kena sanksi pihak terkait. Alhamdulillah sampai juga dikampung yang teramat dirindukan. Rindu tepian mandi, rindu jo dabua ambak pasisie tapi harus rela putus sambung naik ojek pada Sabtu sore 23 Mei.
Rindu dengan kampung halaman. Yang jauh terasa dekat. Tapi sebaliknya yang dekat pun terasa jauh saat musim covid 19 yang semakin bertambah mendekati angka menuju puncak 10 ribu karena sampai sekarang angkanya sudah lebih dari 9 ribu Orang Dalam Pemantauan (ODP) se-Sumbar.
Malam takbiran bergema seantero disekiran kampung saya suara merdu dari lontaran sound sistem pengeras suara dari berbagai Masjid. Bergema, gemuruh takbiran mengepung jagat alam dengan pepohonan rindang nan hijau. Takbiran memuji hasma Allah bagaikan rantai tali temali memuji zat yang maha agung, zat yang maha suci dan zat yang maha tinggi dicintai oleh hambaNya yang terpuji.
Sudah lebih dari 34 tahun saya tetap kembali ke kampung halam demi rindu malam takbiran. Mohon ampunan pada kedua orangtua seketika beliau masih ada. Namun masih untung bagi saya dua kerinduan ayah dan ibu jika tahun tahun yang lalu ibuku masih berdua dengan ayah ku. Tapi sekarang pusat kerinduan bertumpu pada satu orangtua saja yakni ayah ku karena ibu ku telah dulu dipanggil yang maha kuasa.
Malam takbiran berbalut rindu dari segala sebab kerinduan dengan kampung halaman.
Kerinduan tak diukur oleh jauhnya rantau. Kerinduan tak pula disimpulkan karena dekatnya merantau. Tapi kerinduan ibarat sebuah jembatan hati yang tak pernah putus.
PSBB di Sumbar mengakibatkan sebuah alasan memutus rantai kerinduan yang membisu. Kenapa PSBB tak dilakukan 2 bulan yang lalu sebelum datangnya Ramadhan. Jika memang memutus mata rantai penyebaran covid 19 bisa dibombardir oleh cuci tangan, jaga jarak, gunakan masker, hindari berkerumun. Saat Ramadhan PSBB dihantarkan. Tentu jadi penyesalan bagi yang merindukan kampung halaman yang telah bertahun tahun kerinduan tak terkabulkan. Rencana Ramadhan tahun ini jadi incaran, terasa menyesal kok tak tahun dulu saja pulang kampung atau mudik lebaran.
Sekarang negeri orang bagaikan negeri sendiri. Sedangkan negeri sendiri bagaikan negeri orang.
Sedangkan saya bisa lolos dari halangan dengan taktik seperti pada pragraf ke-3 dari atas tulisan ini.
Jika tahun tahun lalu pada malam takbiran bisa saja tebak bahwa yang membacakan hasma Allah lewat pengeras Masjid terdekat. Bahwa itu suara merdu dari uztad itu. Dan, itu nyanyian dan lagu pujian hasma Allah yang didendangkan oleh guru ngaji. Tapi sekarang suara nyaring qori pujian pada zat yang maha tinggi. Nyanyian bahasa quran puji pujian penuh kenabian bergetar, gemetar dan syahdu bukan lagi dari uztad yang itu lagi, bukan lagi ngaji yang itu lagi. Tapi dari barang elektronik handpone.
Tahun tahun lalu malam takbiran berbetuk lingkaran, berbentuk berbanjar, ber-syaf syaf para angku damang dan angku kali yang pintar ngaji. Sekarang tak lagi. Covid 19 memutus tepian bahu, virus itu jadi tuduhan. Kerinduan akan kampung halaman jadi hitam.
Hari yang fitri tetap bersemedi dilubuk hati. Bersalaman dengan handai tolan jadi larangan. Marah pada siapa, benci pada siapa. Dari pada marah dan benci lebih baik sayangi sanak saudara, karib kerabat.
Sedangkan kampung