KH. Nusron Wahid; Syarat dan Urgensi Persatuan Umat Islam di Indonesia

News

Dalam momen Ramadhan seperti ini, banyak masjid dan kampus yang menyelenggarakan kajian Ramadhan dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam berbagai bidang. Termasuk apa yang dilakukan oleh KH. Nusron Wahid, wakil ketua umum PBNU, dalam safari Ramadhan-nya di Universitas Negeri Padang (31/03/2023).

Dalam tausiyah menjelang salat tarawih di Masjid Al-Azhar Universitas Negeri Padang, Nusron mengajak para hadirin untuk ngaji bersama, serta mengingatkan tentang urgensi dan syarat persatuan umat Islam di Indonesia. Menurutnya, semua gerakan keagamaan Islam di Indonesia, baik itu NU, Muhammadiyah, PERTI, atau pun yang lain, pada dasarnya semua mempunyai kehendak dan cita-cita tentang pentingnya persatuan umat Islam di Indonesia.

Mengapa demikian? Karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, karena itu menurut Nusron wajar jika umat Islam di Indonesia memimpikan persatuan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan keadilan bangsa Indonesia.Namun sayangnya, persatuan dan kesatuan umat Islam yang sejatinya diimpikan oleh para founding father dan ulama-ulama, pada kenyataannya hari ini hanya menjadi mimpi dan utopia belaka.

Penyebabnya tak lain karena masing-masing dari kita tidak melaksanakan peran atau syarat mutlak yang harus dan wajib dilaksanakan antara komponen umat Islam satu sama lain.Lebih lanjut, Nusron mengajak hadirin untuk menengok pengalaman 5 tahun ke belakang, bagaimana hanya karena perbedaan pandangan politik, ulama disisihkan, karena perbedaan pilihan, antar umat muslim satu sama lain bermusuhan, hal seperti ini sesungguhnya malah menjauhkan kita dari cita-cita besar persatuan umat Islam di Indonesia.

Dan Nusron menekankan bahwa urgensi persatuan umat Islam adalah dalam rangka mutlak untuk mencapai izzul islam wal muslimin, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.Dalam kesempatan ceramahnya itu, Nusron membacakan salah satu bab dari sebuah kitab yang berkaitan dengan pembahasan di atas.

Mimpi tentang persatuan umat Islam di dunia telah diingatkan oleh ulama besar, yang lahir di Makkah, As-Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki.Dalam kitabnya ‘Mafahim Yajibu an Tushahhah’, beliau mengurai tentang salah satu sebab pemicu tidak tercapainya persatuan umat Islam di dunia ini. Penyebab utamanya ialah terjadinya saling caci-mencaci antara satu umat Islam dengan umat Islam lain.

Jadi, Nusron menyimpulkan jika kita ingin mewujudkan mimpi persatuan umat Islam, kuncinya hanya dengan menghilangkan budaya caci mencaci ini.Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki menulis secara khusus satu bab tentang hal ini. Mencaci maki antara umat Islam itu termasuk perbuatan fasik. Kalau sampai mempengaruhi bahkan membunuh maka itu dapat menyebabkan kufur.

Sesungguhnya membenci sesama umat Islam, memutus hubungan antar umat Islam, dan menjauhi satu sama lain itu merupakan perkara yang dilarang oleh agama, karena hukum pencaci umat Islam itu tergolong fasik, dan memusuhi atau membunuhnya itu berarti kufur kalau sampai menghalalkan darah.

Untuk membuktikan kebenaran keterangan dalam bab ini, Nusron menjelaskan,Pertama membacakan hadis tentang Khalid bin Walid.عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَى بَنِي جَذِيمَةَ فَدَعَاهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَلَمْ يُحْسِنُوا أَنْ يَقُولُوا أَسْلَمْنَا فَجَعَلُوا يَقُولُونَ صَبَأْنَا وَجَعَلَ خَالِدٌ قَتْلاً وَأَسْرًا – قَالَ – فَدَفَعَ إِلَى كُلِّ رَجُلٍ أَسِيرَهُ حَتَّى إِذَا أَصْبَحَ يَوْمُنَا أَمَرَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ أَنْ يَقْتُلَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيرَهُ ‏.‏ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لاَ أَقْتُلُ أَسِيرِي وَلاَ يَقْتُلُ أَحَدٌ – وَقَالَ بِشْرٌ – مِنْ أَصْحَابِي أَسِيرَهُ – قَالَ – فَقَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَذُكِرَ لَهُ صُنْعُ خَالِدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَرَفَعَ يَدَيْهِ ‏”‏ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ ‏”‏ ‏.‏ قَالَ زَكَرِيَّا فِي حَدِيثِهِ فَذُكِرَ وَفِي حَدِيثِ بِشْرٍ فَقَالَ ‏”‏ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ ‏”‏ ‏.‏ مَرَّتَيْنِ ‏.‏Artinya: Nabi saw. suatu kali mengirim Khalid bin Walid ke Bani Jadzimah dengan misi mengajak mereka masuk Islam, namun rupanya mereka belum fasih mengucapkan; “Aslamnaa” (kami masuk Islam) sehingga mereka keceplosan mengucapkan Shabba’naa (yang makna secara harfiah kami sembah matahari), mereka terus saja mengucapkan Shabba’na, Shabba’na -sekalipun maksudnya aslamnaa– Maka Khalid membantai di antara mereka dan sebagian lain ia tawan, dan ia serahi masing-masing kami seorang tawanan yang ia perintahkan untuk dibunuh di hari selanjutnya.

Saya protes “Demi Allah, saya tak akan membunuh tawananku, dan setiap kawanku juga tak akan membunuh tawanannya.” Hingga akhirnya kami menemui Nabi saw. dan kami utarakan kasusnya kepada beliau. Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya sembari bersabda: ALLAAHUMMA INNII ABRA’U ILAIKA MIMMAA SHANA’A KHALID (Ya Allah, saya berlepas diri kepada-MU dari perbuatan-perbuatan Khalid bin Walid. Beliau ulang dua kali. (Mafahim Yajibu an Tushahhah-Darul Jamwami’ al-Kalim/19-20,Kairo)Dari hadis tersebut, dapat dilihat bahwa sikap tergesa-gesa dan tidak hati-hati dari Khalid bin Walid akhirnya memakan korban nyawa saudaranya sendiri. Khalid memilih buru-buru menghakimi (lawan bicaranya sebagai kafir)ketimbang berhati-hati dan menghindari prasangka.

Kecerobohan membuatnya langsung menjadikan mereka tawanan. Celakanya, konsekuensi terburuk kemudian muncul: pembantaian. Seandainya prinsip “lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada salah memberi hukuman” dipegang kuat-kuat, mungkin Rasulullah tidak bakal menyesali tindakan sembrono sang pedang Allah itu.Lebih mulia mana Khalid bin Walid dengan ulama-ulama hari ini yang suka mencaci maki satu sama lain? Jadi kalau kita ingin memimpikan persatuan umat Islam, maka langkah pertama adalah menurut Nusron adalah percaya.

Kemudian menghormati atas pendapat-pendapat lain meskipun kita tidak sependapat dengan pendapat mereka.

Yang kedua adalah hadis tentang Usamah bin Zaid.

وعن أُسامةَ بنِ زَيْدٍ رضي اللَّه عنهما قَالَ: بعثَنَا رسولُ اللَّه ﷺ إِلَى الحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَصَبَّحْنا الْقَوْمَ عَلى مِياهِهمْ، وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلًا مِنهُمْ، فَلَمَّا غَشيناهُ قَالَ: لا إِلهَ إلَّا اللَّه، فَكَفَّ عَنْهُ الأَنْصارِيُّ، وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ، فَلَمَّا قَدِمْنَا المَدينَةَ بلَغَ ذلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ لِي: يَا أُسامةُ! أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ؟! قلتُ: يَا رسولَ اللَّه إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا، فَقَالَ: أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ؟! فَما زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذلِكَ الْيَوْمِ. متفقٌ عَلَيهِ.

Suatu hari Rasulullah mengirim Usamah bin Zaid bersama sahabat lainnya ke desa Al-Huraqah dalam sebuah misi perang. Mereka pun berhasil memukul mundur pasukan lawan. Usamah dan seorang lelaki dari kaum Anshor mengejar seorang lelaki dari pasukan musuh. Dalam kondisi terpojok oleh mereka berdua, musuh itu tiba-tiba mengucapkan kalimat “Lailaaha illallah.” Mendengar itu teman Usamah itu langsung mengurungkan niat untuk membunuh. Namun, Usamah sendiri malah menikam pengucap kalimat tauhid hingga mati.Rasulullah marah mendengar kabar tindakan Usamah tersebut. Ketika mereka kembali ke Madinah, Nabi menginterogasi, “Wahai Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan La Ilaaha illallah?” Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai Usamah berandai-andai belum masuk Islam pada hari itu. “Dia hanya berpura-pura,” jawab Usamah.Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. Usamah bin Zaid sadar, Rasulullah sedang marah besar, yang kemudian membuatnya sangat menyesal. “Aku tidak akan pernah lagi membunuh siapa pun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah,” kata Usamah. Cerita tersebut diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Abu Dzibyan. Usamah bin Zaid sendiri yang mengisahkan peristiwa tersebut (Mafahim Yajibu an Tushahhah-Darul Jamwami’ al-Kalim/20, Kairo).Di balik peristiwa Usamah tersebut terdapat pelajaran berharga.

Umat Islam dilarang membunuh secara sembarangan kepada orang yang telah mengaku berimandan mengucapkan syahadat, bahkan ketika dalam suasana terpojok sekalipun.

قَالَ: أَفَلا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لا؟

Ucapan Nabi “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?” adalah sindiran keras kepada Usamah yang terlalu lancang merambah urusan hati yang pasti di luar jangkauannya. Manusia hanya berhak menghukumi berdasarkan yang tampak lahiriahnya.

Sebab, itulah indikator yang paling mungkin bisa diakses manusia sebagai makhluk terbatas.Yang terakhir, Kehati-hatian Sayyidina Ali untuk Tidak Mudah MengKafirkan Orang

وَقَدْ سُئِلَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ الْمُخَالِفِيْنَ لَهُ مِنَ الْفِرَق : أَكَفارٌ هُمْ؟ قَالَ لاَ, اِنَّهُمْ مِن الكُفْرِ فروا, فَقِيْلَ أَمُنَافِقُوْنَ هُمْ ؟ فَقَالَ لَا, اِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلَّا قَلِيْلا, وَهَؤُلاَءِ يَذْكُرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا, فَقِيْلَ : اَيُّ شَئٍ هُمْ؟ قَالَ قَوْمٌ أَصَابَتْهُمْ الفِتْنَةُ, فَعَمُّوا وَصَمُّوْا.

Mushonnif kemudian bercerita bahwa Sayyidina Ali karramallahu wajhah pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”, “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang jauh dari kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?” “Bukan. Orang-orang munafik hanya sedikit mengingat Allah sedangkan mereka banyak mengingat Allah.” Jawab Ali. “Lantas siapakah mereka?” Sayyidina Ali kembali ditanya. “Mereka hanyalah kaum yang terkena fitnah (cobaan) yang mengakibatkan mereka buta dan tuli,” jawab Ali.Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berprasangka baik dan mengedepankan sikap memaafkan.

Sebab, salah memaafkan itu lebih selamat daripada salah menghukumi.Nusron Wahid menyimpulkan dari keterangan di atas (Usamah bin Zaid, Khalid bin Walid) adalah contoh-contoh sahabat yang tidak kenal ampun ketika berbuat kesalahan pun ditegur nabi, bahkan sekelas Sayyidina Ali pun tidak mau menyalahkan orang yang beda pendapat dengannya.Lalu bagaimana dengan kita, yang ilmunya tidak ada setetes embun dari Sayyidina Ali. harusnya lebih berhati-hati lagi untuk tidak mudah mencaci bahkan mengkafirkan orang yang tidak sependapat dengan kita.

Jika umat Islam di Indonesia ini tidak mudah tersinggung ketika ada perbedaan pendapat atau pandangan politik, tidak semena-mena menggunakan kekerasan dalam merespon suatu perkara, tidak mudah tersulut emosinya ketika ada yang menyinggung, maka persatuan umat Islam di Indonesia bukan lagi utopia samata, melainkan mimpi yang dapat menjadi kenyataan.

Dalam menutup ceramahnya, Nusron berdoa sembari mengajak jamaah semoga pada tahun politik ini kita semua disadarkan dan tidak boleh saling mencaci maki sesama umat Islam, apapun pilihan politiknya, kita wajib menghormatinya, demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia.

Spread the love