Ketum MUI Sumbar : “Putus Rantai Penularan” covid-19

News

Umat Islam harus belajar dari kasus “Tha’un ‘Amawas” yang terjadi di zaman Khalifah ‘Umar Ibn al-Khatthab ra.
Setelah dua sahabat Rasulullah yang menjadi Gubernur Syam gugur syahid terkena wabah Tha’un ‘Amawas yaitu Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah ra dan Mu’adz Ibnu Jabal ra, kepemimpinan jatuh kepada ‘Amru Ibn al-‘Ash ra dan tentu itu dengan persetujuan Amirul Mukminin ‘Umar Ibn al-Khatthab.

Berbeda dengan dua gubernur sebelumnya yang lebih memfokuskan kepada menanamkan nilai keshabaran dan berharap pahala di sisi Allah swt, ‘Amru Ibn al-‘Ash ra lebih menekankan kepada langkah-langkah ikhtiar untuk menghentikan wabah ini biidznillah.

Kesimpulan dari observasi dan diagnosa yang dilakukan, disampaikan oleh ‘Amru ra dalam khutbah beliau :

أيُّها الناس إِنَّ هذا الوجع إِذا وقع إِنما يشتعل اشتعال النَّار، فتحصنوا منه في الجبال، فقال أبو وائلة الهذلي : كذبت والله لقد صحبت رسول الله صلى الله عليه و سلم و أنت شرّ من حماري هذا فقال : و الله ما أرد عليك ما تقول و أيم الله لا نقيم عليه ثم خرج، وخرج النّاس، فتفرقوا و دفعه الله عنهم، فبلغ ذلك عمر ما فعله عمرو، فما كرهه

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan menyala bagaikan nyala api maka jadikanlah gunung-gunung sebagai benteng dari penyakit ini.
Abu Wailah al-Hudzaliy berkata, “engkau berbohong ! Demi Allah, sesungguhnya aku telah menemani Rasulullah saw sedangkan engkau (waktu itu) lebih buruk dari keledaiku”.
‘Amru menjawab, “demi Allah, saya tidak akan membalas apa yang engkau katakan dan demi Allah, kita tidak akan menetap di sini (tempat wabah).
Kemudian ‘Amru keluar dan orang banyak keluar pula (mengikutinya). Mereka pun berpencar dan Allah swt menolak bala itu dari mereka.
Apa yang dilakukan oleh ‘Amru tersebut, sampai kepada ‘Umar ibn al-Khatthab ra dan beliau tidak membencinya”.
(Disarikan dari kitab Badzlul Maa’un dan kitab al-Bidayah wa al-Nihayah)

Kalau dianalisa langkah yang dilakukan oleh ‘Amru ra, bukankah ini yang disebut sekarang dengan memisahkan antara yang terpapar dengan yang belum terpapar wabah (phisical distancing) dan berakhir dengan mengisolasi tempat berjangkitnya wabah secara total yang dikenal saat ini dengan istilah karantina wilayah.

Kalimat يشتعل اشتعال النَّار (menyala bagaikan nyala api) benar-benar kesimpulan yang akurat dalam menjelaskan sifat penyebaran wabah.
Selama masih ada orang yang bisa dipaparinya, wabah akan tetap menyebar sebagaimana api yang akan terus berkobar selama masih ada benda yang akan dibakarnya.
Di samping akurat dalam menyimpulkan hasil analisis, ‘Amru ra juga akurat dalam merumuskan tindakan yang sangat efektif yaitu فتحصنوا منه في الجبال (maka jadikanlah gunung-gunung sebagai benteng dari penyakit ini) atau dalam riwayat lain, تجبَّلوا (menyingkirlah ke gunung-gunung).
Seanjutnya, istiqamah dalam menjalankan keputusannya.
Suatu tindakan seorang pemimpin yang patut ditauladani dalam menghadapi krisis !!!
Di sisi lain, bila kisah ini direnungkan dan difahami dengan baik, umat Islam sudah sepatutnya memahami betapa pentingnya langkah-langkah ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebaran wabah.

Pihak yang terkait juga sudah saatnya melakukan langkah-langkah maksimal untuk memutus mata rantai tersebut.
Berbagai reaksi kepanikan, tidak lah mesti direspon dengan tindakan berlebihan oleh pihak yang berkuasa karena pemimpin harus memahami suasana bathin masyarakat saat ini.
Perhatikanlah ‘Amru ra yang tidak menjawab pernyataan Abu Wailah tapi tetap konsisten dengan langkah-langkah yang dilakukannya dengan perencanaan yang matang.

Umat Islam saat ini juga sedang diuji apakah mereka akan bersikap “sami’na wa atha’na” kepada fatwa ulama bila sampai ke tingkat harus menahan diri dari kegiatan berjamaah termasuk berjum’at sebagaimana umat yang mengikuti ‘Amru Ibn al-‘Ash ketika bergerak ke gunung-gunung dan perbukitan.

Tentu mereka tak berhenti beribadah tapi mereka mengambil petunjuk syari’at yang dicintai Allah swt dalam kondisi sulit apalagi dharurat seperti itu.
Bukankah mengambil rukhshah (dispensasi) bukanlah perbuatan yang dibenci oleh Allah swt bahkan ia dicintai oleh Allah swt ?!
Apalagi dalam kondisi dharurat seperti sekarang. Bila tetap bersikukuh mengambil hukum ashal atau ‘azimah, malah perbuatan itu akan menimbulkan mudharat lebih besar.
Perhatikan hadits Rasulullah saw berikut ini:

‎إن الله تبارك وتعالى يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sesungguhnya Allah tabaraka wataála menyukai ketika rukhshah dari-Nya diambil, sebagaimana Ia membenci tatkala maksiat kepada-Nya dilakukan” (HR. Imam Ahmad)

Akhirnya, bila usaha maksimal telah ditempuh maka sebagai hamba-hamba yang beriman, umat Islam tentu tidak boleh bergeser dari prinsip keimanan sebagaimana tuntunan Allah swt dalam firman-Nya:

{قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ} [التوبة : 51]
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (QS. al-Taubah 9:51)

Catatan : Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa (Ketum MUI Sumbar)

Spread the love