Cara Menyikapi QADAR dan QADHA Allah Menghadapi Wabah COVID-19 (part 3)

News

Oleh Prof.Dr.H.Salmadanis, M.A
(MELALUI PENDEKATAN IMAN)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Wahai Pencinta KAJIAN ISLAM dan JAMAAH MAJLIS TA’LIM di mana saja berada.
Dalam beberapa tulisan kedepan saya akan memaparkan KAJIAN ISLAM terkait bagaimana iman kita menyikapi wabah COVID-19 yang saat ini sedang melanda kehidupan manusia dari berbagai aspek di dunia termasuk negara kita Indonesia tercinta.

BERIMAN KEPADA QADAR DAN QADHA ALLAH SWT

  1. HUBUNGAN ANTARA QADHA DAN KADAR TERHADAP MANUSIA

Iman kepada qada dan qadar dalam ungkapan sehari-hari lebih populer dengan sebutan iman kepada takdir. Iman kepada takdir berarti percaya bahwa segala apa yang terjadi di alam semesta ini, seperti adanya siang dan malam, adanya tanah yang subur dan yang tandus, hidup dan mati, rezeki dan jodoh seseorang, ada virus burung, virus babi dan termasuk covid-19 merupakan kehendak dan ketentuan Allah SWT.

Hukum beriman kepada takdir adalah fardu ’ain. Seseorang yang mengaku Islam, tetapi tidak beriman pada takdir dapat di anggap murtad (kafir). Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidaklah beriman seseoarng sebelum ia beriman kepada Qadar, qadar yang baik maupun yang buruk. Dan tidaklah ia beriman mengetahui sesungguhnya apa saja yang sudah dipastikan akan menimpanya, tentu tidak akan meleset darinya. Dan sesungguhnya apa saja yang dipastikan meleset dari dirinya pasti tidak akan menimpanya.” (H.R. At-Tirmidzi dari Jabir)

Hadits di atas menjelaskan bahwa pengakuan iman seseorang tidak diterima Allah apabila:

a.  Tidak beriman kepada Qada dan Qadar

b. Belum meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki Allah (baik tertimpa maupun terhindar dari sesuatu) pasti itulah yang terjadi.

Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang iman kepada takdir cukup banyak, antara lain :

Artinya : “Apabila Allah hendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya : “jadilah”, lalu jadilah dia.” (Q.S. Ali Imran, 3 : 47).

Artinya : “dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya.” (Q.S. Fussilat, 41 : 10).

Artinya : “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.S. Al Ahzab, 33 : 38).

Menurut ulama Asy’ariah, bahwa hubungan qada dengan qadar merupakan satu kesatuan, karena qada merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan qadar merupakan perwujudan dari kehendak itu. Qada bersifat Qadim (lebih dulu ada) sedangkan qadar bersipat hadis (baru).

Apakah manusia itu musayyar (di paksakan oleh kekuatan Allah) atau mukhayyar (di beri kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri)? Tidak benar kalau di sana manusia itu mutlak musayyar, tetapi juga keliru jika di katakan manusia itu mutlak mukhayyar.

Hal-hal yang musayyar misalnya, setiap manusia yang hidup di bumi tubuhnya tidak bisa terbebas dari gaya tarik bumi, beberapa organ tubuh manusia seperti paru-paru, jantung, alat pernapasan, dan peredaran darah bekerja secara otomatis diluar kesadaran atau perasaan, bahkan ketika manusia tidur sekalipun.

Adapun hal yang mukhayyar misalnya, manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dan berbuat sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk. Allah SWT melalui Rasulnya telah memberikan petunjuk tentang jalan yang lurus, yang harus di tempuh manusia, kalau ia ingin masuk surga, dan jalan yang sesat yang harus dijauhi manusia jika ia tidak ingin masuk neraka.

Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan kami telah menunjukan kepada dua jalan (jalan kebajikan dan jalan kejahatan).” (Q.S. Al-Balad, 90 : 10).

Bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dalam berbuat. Hal itu tersirat dalam peristiwa berikut yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khatab RA.

إن عمر خرج إلى الشام فلما كان بسرغ بلغه أن الوباء قد وقع بالشام فأخبره عبد الرحمن بن عوف أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه. صحيح البخاري (5/ 2164)
“Suatu ketika Umar bin Khatthab pergi ke Syam. Setelah sampai di Sargh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang melanda di Syam. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya”. (Hadits Riwayat Bukhari)

Misalnya. Jika seseorang memilih tinggal dirumah itu qadar, jika merka keluar dari itu juga qadar. Lalu pemerintah atau ulama telah mengumumkan agar tdk keluar rumah krn ada resiko, ybs tetap saja pergi keluar rumah. Lalu mereka diserang covid-19. Dalam hal ini ybs menerima kadar buruk. Krn tdk mengindahkan intruksi pemerintah atau ulama. Sebaliknya ybs tetap saja dirumah, lalu kena covid-19 juga. Maka ybs telah menerima kadar baik. Sebab ybs telah ikhtiar, usaha dan berdoa. Maka itu namanya qadha Allah, itulah yg terbaik menurut Allah kepadanya.

Dalam hadis lain Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendak baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.
“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR. Muslim). Masih banyak contoh2 lainnya.

Qadha dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya yaitu qadha. Barang siapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut.[10]

Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha’ ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya.

Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut”. Jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian) nya.


Wahai sahabat2 dan kaum muslimin, Esakanlah ALLAH dengan Beriman kepada QADHA DAN KADAR-NYA.
PAHAMILAH AGAR IMAN KITA TETAP TEGUH DAN UTUH
DARI SALMADANIS PEMBINA STUDI ISLAM DAN MAJLIS TA’LIM SUMBAR.
3

Spread the love