Oleh Yufidi Yanti, Nim 2360202002 Prodi. S1 Ekonomi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Provinsi Sumatera Barat (UNU Sumbar)
Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para ulama yang disebut “sahabat” adalah orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam.
Orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzu’aib, yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu’aib, mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh al-Hafidl, bahwa pendapat yang paling shahih yang telah diketemukannya bahwa arti sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam islam, baik lama ia bergaul dengan Nabi atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi meskipun tidak dalam satu majelis dengan Nabi, atau dia tidak dapat melihat Nabi karena buta.
Menurut Usman ibnu Shalih, yang dikatakan sahabat adalah orang yang menemui masa Nabi, walaupun dia tidak dapat melihat Nabi dan ia memeluk Islam semasa Nabi masih hidup.
Sebagian ‘ulama Ushul berpendapat bahwa yang dimaksud sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Rasul dan lama pula persahabatannya dengan beliau walaupun tidak meriwayatkan hadits dari beliau.
Menurut al-Khudlari menerangkan dalam Ushul Fiqhnya: “tidak dipandang seseorang, menjadi sahabat, melainkan orang yang berkediaman bersama Nabi satu tahun atau dua tahun”. Tetapi an-Nawawi membantah faham ini dengan alasan kalau yang dimaksud sahabi yaitu orang yang menyertai Nabi satu atau dua tahun, tentulah tidak boleh kita katakan Jarir al-Bajali seorang sahabat.
Tabi’in menurut bahasa adalah jama’ dari kata tabi’ yang artinya pengikut. Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw dan meninggal dalam keadaan Islam.
Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Menurut Ibnu Katsir, yang dinamakan tabi’in tidak cukup hanya pernah melihat sahabat, sebagaimana yang dinamakan sahabat cukup pernah melihat Nabi saw saja. Yang membedakan adalah keagungan dan kebesaran dari melihat Nabi saw.
Menurut kebanyakan ahli hadis, yang dinamakan tabi’in ialah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan beriman meskipun tidak pernah bersahabat dengan sahabat dan tidak pula pernah meriwayatkan hadits dari sahabat.
Tabi’ittabiin (التَّابِعِينَ لِلتََّابِعِينَ): Tabi’ittabiin adalah generasi yang mengikuti Tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW atau Sahabat langsung, tetapi mereka belajar dan menerima ajaran Islam dari Tabi’in. Meskipun tidak memiliki status yang sama dengan Sahabat atau Tabi’in, mereka tetap memiliki peran dalam menyebarkan ajaran Islam dan mengembangkan pemahaman agama.
Kedua kelompok ini memiliki peran penting dalam menyebarkan Islam, mempertahankan tradisi dan ajaran Nabi Muhammad, serta mengembangkan ilmu agama. Mereka banyak berkontribusi dalam bidang hadis, tafsir, dan fiqh (hukum Islam).
Tabi’at tabi’in adalah istilah dalam bahasa Arab yang merujuk kepada generasi ketiga dalam Islam setelah generasi Sahabat dan Tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang hidup setelah masa Nabi Muhammad SAW dan Tabi’in (pengikut langsung Sahabat) dan telah menerima ajaran Islam dari generasi sebelumnya. Mereka juga dianggap sebagai kelompok yang saleh dalam sejarah Islam karena mereka mendukung dan menyebarkan ajaran Islam.
Aswaja Dalam Kajian Historis Pada Era Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ittabi’iin
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan alkhulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Ahlus sunnah wal jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.
Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) umpamanya, orang yang disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jama’ahitu, istilah ini belum digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jama’ah, baru diperkenalkan hampir empat ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asy’ari (pengikut Abu Hasan AlAsy’ari) sepertiAl-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan.
Ini misalnya terlihatdalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim padatahun 218 H, sebelum Al-Asy’ari sendiri lahir, tercantum kutipan kalimat wanasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal jama’ah (ahli kebenaran, agama dan jama’ah).
Pemakaian Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali:
“ jika disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi”
Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khasaliran ini, baik di bidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljama’ah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah.
Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam AlHawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada parasahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita.
Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.
Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam”yang ekstrim.
Kelompok ini, mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan.
Dosen Pembimbing : Kiai Eri Gusnedi, S. Pd. I, MA Dosen UNU Sumbar