Oleh David Fahlendra Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Barat ( UNU Sumbar) Semester I
Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, merupakan satu kesatuan dari 3 unsur dasar yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan. Setelah Rasulullah SAW wafat, bibit perselisihan diantara ummat Islam mulai tampak.
Menurut para ahli sejarah firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan. Pertama-tama Abdullah bin Saba’ mempropagandakan suatu aliran yang diberi nama “Mazhab Wishayati yang berhasil mempengaruhi para pendukung Ali bin Abi Thalib.
Di samping itu, dipropagandakan pula aliran-aliran. Hak Ilahi untuk memperkuat kedudukan Sayyidina Ali. Propaganda Abdullah Ibn Saba’ berjalan secara intensif dan berhasil memperoleh dukungan dan kaum muslimin.
Pada tahun 37 H terjadi Perang Sifin antara tentara Khalifah Ali dengan tentara Muawiyyah bin Abi Sufyan. Kelompok Ali yang tidak menghendaki perdamaian membentuk barisan memisahkan diri dari kelompok Ali, lambat laun golongan Khawarij menjadi beberapa Sekte.
Selain itu, timbul kelompok yang menamakan diri “Murjiah” di pimpin oleh Hasan bin Bilal al-Muzni. Adalagi kelompok yang namanya “Jabariyah” tokohnya bernama Jahmbih Satwan. Faham fatalisme yang di bawah oleh Jahm ini ternyata mendapat perlawanan kelas dari golongan Wahdaniyah di pimpin Ma’bad Al-Juhaini.
Pada abad 2 H muncullah golongan “Mu’tazilah” di pimpin Wasik bin Atha’. Golngan Mu’tazilah dengan faham kebebasan rasio perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Beberapa golongan atau firqoh diatas adalah tumbuh dan berkembang karena persoalan politik.
Banyaknya firqoh sudah barang tentu menjadi bara api perselisihan semakin berkobar. Pada saat demikian, ajaran Aswaja mutlak dipopulerkan kembali sehingga ummat Islam dapat terbebaskan dari ajaran sesat.
Jadi aswaja muncul bukanlah satu ajaran yang muncul sebagai reaksi dan timbunya aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, tetapi Aswaja benar-benar sudah ada sejak Zaman Nabi dan justru aliran-aliran itulah yang menodai kemurnian ajarannya.
Aswaja sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu :
Faham Syi’ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Ahlusunnah wal jama’ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya.
I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Karena itu, ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah. Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.
Salah satu contoh amalah nabi Muhammad kepada para sahabat adalah
Doa Qunut pada solat Subuh adalah Sunnat, Menurut mazhab Imam Syafi’i, yang kami anut dan yang dianut oleh Ulama’-ulama’ besar dalam mazhab Syafi’i, seperti Imam Ghozali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam ar-Ramli, Imam Khatrib Syarbaini, Imam Zakaria Al-Anshari dan lain-lain, bahwa hukum membaca do’a qunut dalam sembahyang Subuh pada i’tidal raka’at kedua adalah sunnat ‘aba’ad, diberi pahala yang mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
Imam Sindi, pengarang Hasyiyah Salih Bukhari mengatakan bahwa menurut sebagian qunut itu sudah dinasikkan semuanya tetapi ada sebagian yang mengatakan bahwa qunut dalam sembahyang subuh tidak dinasikhkan.
Dosen Mata Kuliah Aswaja : Eri Gusnedi, S. PdI, MA