Oleh : Akmal Hadi,S.HI (Pimpinan Pondok Pesantren Asshhabul Yamin)
Laksana mencari bulu hitam pada seekor ayam berwarna putih selalu, atau sebaliknya, yang jelas arti dari peribahasa di atas adalah suatu kesukaran bagi kita untuk mencari kebenaran pada objek vital yang bobot kejahatannya di atas 99, 99 persen.
Kenapa saya sebut dengan angka 99,99 persen [?], berarti ada kebenaran pada angka passing grade 00,01 persen, ternyata tidak begitu adanya, melainkan kejahatan pada angka 99,99 persen tersebut dengan menyisakan 00,01 persen adalah bahwa yang berprilaku jahat masih ada keyakinannya untuk menyebut suatu kebenaran.
Pe-nanggal-an kita, penyebutan almanak kita sering dimulai dengan bulan Januari dan berakhir dengan nama bulan Desember, tentang kelahiran, tentang pernikahan, tentang acara hajatan pesta, dan lain sebagainya, kita masih tetap menyebut nama-nama bulan yang terdapat pada tahun Masehi, bahkan untuk menyebut awal Ramadhan dan hari besar Islam lainnya kita masih menyebut pe-nanggalan pada almanak masehi, seperti kapan kita puasa, biasanya akan menyebut hari dan tanggal yang ada pada bulan masehi dan selanjutnya baru mengiringi dengan tanggal pada kalender yang ada di tahun hijriah.
“Kita puasa kamis, tanggal 17 September….”misalnya.
Berarti kita menyebutkan tanggal yang ada pada tahun masehi terlebih dahulu, dan selanjutnya baru dibarengi dengan nama-nama bulan pada tahun hijriah, itupun tidak banyak lagi yang mengetahui nama-nama bulan pada tahun hijriah tersebut.
“Saya menikah pada tanggal 18 Januari …..”, kenapa kita tidak menyebut dengan tanggal, semisal :
“ Saya menikah hari Jumat, tanggal 9 Dzulqaidah ….”.
Alasannya cukup sederhana, karena kita tidak banyak lagi yang mengetahui bahwa bulan Rajab urutan keberapa dan Syakban berada pada urutan keberapa, yang jelas kita mengetahui bahwa bulan Juni adalah urutan ke-6 dan bulan Oktober adalah urutan ke-10 dari kumpulan nama-nama bulan pada tahun Masehi.
Terlalu bangga kita dengan tahun Hijriah yang notabene claim-an kita “tahun umat Islam se-Dunia” sementara vonis bebas kita lantang berucap, bahwa tahun Masehi adalah tahun orang yang bukan muslim, sementara kita tidak mengetahui apakah Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syakban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaedah dan Dzulhijjah hanya hafalan para Inyiek, Antan, Angku, dan Biyai-biyai kita tempo doeloe.
Ironis memang, ketika kita melangsungkan pernikahan anak atau kemanakan kita, dengan menyebut nikahnya bulan Maret, dan Resepsi-nya bulan April, apakah tidak baik mengucapkan, Insyaa Alaah anak kami akan dinikahkan pada bulan Rajab tahun ini dan walimah-nya (Ganti Resepsi / Wedding) akan berlangsung pada hari Kamis tanggal 3 Syakban tahun ini juga.
Berbangga kita dengan tahun Hujrat (bahasa inyiak antan kita) untuk menyebut tahun “Hijriah” namun sangat apes, disaat kita tidak mengetahui sebutan nama-nama bulan yang ada pada tahun Hijriah tersebut, dan kita sering menyebutkan bulan yang ada pada tahun masehi dan selanjutnya ditulis juga dengan font huruf lebih kecil dengan nama bulan pada tahun hijriah.
Ke-depan-nya, apakah kita lebih cenderung dengan menggunakan dan menyebut nama-nama bulan pada tahun masehi atau nama bulan pada tahun hijriah [?], mari kita urai sinopsis singkat-nya ;
Sejarah tahun baru masehi ;
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM, tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari, dan Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli dan selanjutnya, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September terus selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam.
Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun, belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja….
Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat, sementara beberapa bulan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun. (Sumber : Era Muslim ; Ahad, 13 Rabiul Akhir 1440 H / 23 Desember 2018).
Bersambung …………………………………