Oleh : Dr. Heri Soerikno
Memakai baju wisuda yang besar layaknya jubah ini mengingatkan saya akan cerita yang dahulu berulang-ulang disampaikan oleh Ustaz Samsu Kamal (alm) di kelas semasa jadi anak siak di MTI Canduang. Cerita tentang seorang ulama besar pendiri mazhab Syafi’i yaitu Muhammad Idris bin al ‘Abbas bin Ustman bin Syafi’I bin as-Saib bin Ubayd bin ‘Abdul Manaf bin Qushay atau dikenal dengan Imam Syafi’i.
Kata Sang Guru waktu itu, Imam Sya’rani menceritakan bahwa Imam Syafi’i berlangganan dengan seorang penjahit sehingga setiap pakaian beliau dijahit di sana. Tetapi, selalu ada saja orang yang iri dan dengki pada beliau. Padahal Imam Syafi’i adalah seorang ulama besar yang kealiman dan pengaruhnya sudah sangat luas.
Suatu kali, ketika Imam Syafi’i mendatangi si penjahit untuk menjahit jubahnya, orang yang dengki pada beliau datang pada si penjahit supaya mengolok-olok Imam Syafi’i dengan mengerjai jubah jahitannya. Tujuannya tentu ingin mempermalukan sang ulama penulis kitab al-Umm tersebut.
Ternyata saat jahitan selesai dan Imam Syafi’i mendapati jubahnya aneh dan tidak sesuai dengan yang diinginkannya, beliau diam saja dan tidak marah pada si penjahit. Lengan jubah itu lebar sebelah kiri dan sempit sebelah kanan.
Mendapati Imam Syafi’i tidak marah padanya, lantas si penjahit bertanya mengapa tidak marah dan protes atas hasil jahitannya yang berbeda jauh dari yang dipesan. Kata Imam Syafi’i, lengan kanan yang sempit lebih bagus sebab memudahkan saat menulis sehingga tidak mengenai tinta, sedangkan lengan sebelah kiri yang lapang berguna saat membawa kitab sehingga dapat menutupi kitab tersebut.
Keluasan pikiran dan kelapangan jiwa Imam Syafi’i menjadi wasilah beliau tidak memarahi si penjahit atau malah mencari tahu sebab dia membuatnya begitu sehingga diketahui siapa orang dengki yang berada di belakang semua kejadian tersebut. Malahan memaafkan dan berbaik sangka atas semua kejadian tersebut.
Saya menduga, bahwa pilhan baju wisuda yang lebar bak jubah itu memiliki makna yang sama dengan i’tibar dari cerita Imam Syafi’i, bahwa gelar kesarjanaan dan kealiman saja bukan menjadi tujuan satu-duanya dari prosesi wisuda, tetapi semestinya gelar dan ilmu menghantarkan orang pada kebijaksanaan yang tinggi sehingga mampu memaknai hal yang buruk secara lahir menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Saya kira ini pekerjaan diri yang mesti jadi prioritas setelah seremonial wisuda dengan baju dan toga kebesaran. Tidak hanya fokus pada usaha menjadi lulusan terbaik, tetapi lebih fokus pada pengembangan spiritual yang matang sehingga dapat memahami kehidupan secara bijaksana.
Padang, 25 November 2020