Cerita anak desa berikut ini ditulis dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 1990 an, namun tokoh dalam cerita ini bukan nama sebenarnya, semoga inti dari kisah ini bisa dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan { karena kasih sayang orang tua, kita masih ada hari ini, kita ada hari ini dengan tetesan keringat dan air mata, namun terkadang orang tua tidak ceritakan pada anaknya}
——————————- Bagian Pertama *Keberanian Anak Menantang Kegelapan Malam*
Di suatu kampung kecil di kaki Gunung Merapi hidup keluarga sederhana. Orang tua bernama Ali dan Mur, memiliki 4 orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka hidup dari hasil bertani sawah dan ladang.
Agus anak ketiga dari empat bersaudara, kebiasaannya di sore hari atau ketika emak memasak nongkrong di dapur sambil mendengarkan kisah-kisah sedih emak mengarungi kehidupan, membesarkan anak-anak dengan cucuran keringat dan air mata.
Kebiasaan menengarkan cerita emak membuat rasa santun Agus tumbuh subur dalam dirinya, suatu hari emak pulang dari sawah dengan muka lesu, “ada apa mak ?” Tanya Agus, “sawah kita kering, tadi malam emak ditipu si Kutaik” jawab emak dengan lesu, (KINAYI – ketika musim kemarau biasanya siang dan malam harus menunggui air masuk sawah, kalau tidak sawah akan kering, karena berbagi air dengan sawah-sawah orang lain).
Setelah emak agak tenang, Agus kembali bertanya, “gimana ceritanya mak”, emak menceritakannya “tadi malam emak kan menunggui air sawah sampai jam 22.00, lalu kata si Kutaik, “Mur, kita bagi aja air sama banyak , setelah itu kita pulang”, dan “emak menyetujuinya, dan kami pulang”. Namu pagi harinya emak kembali ke sawah dan ternyata sawah emak kering dan si Kutaik sawahnya penuh air, “ternyata ketika pulang malam itu, Kutaik kembali ke sawah dan menutup air ke sawah kita, makanya sawah kita kering” kata emak dengan muka sedih.
Agus waktu itu masih kelas 5 SD, mendengar cerita emak tergerak hatinya membantu emak. “Mak malam nanti biar saya yang menunggui air di sawah”, antara percaya tidak percaya emak memperhatikan Agus, “benar kamu yang akan pergi malam nanti Agus?, “iya maka” kata Agus dengan semangat.
Karena malam itu emak memang letih, dan sebenarnya berat hati membiarkan Agus pergi malam yang gelap ke sawah sendirian, tapi apa boleh buat kalau sawah tidak ditunggui malam ini, tentu besok sawah akan kering, dan nanti akan berakibat tidak panen, “emak saya pergi ya mak” kata Agus malam itu setelah shalat isa, “ berhati-hati nak..! bawa senter dan parang..! ” kata emak “iya mak” jawab Agus.
Malam itu Agus melangkah setapak demi setapak menelusuri malam yang gelap, menjauhi perkampungan menuju sawah yang akan ditungguinya, sambil jalan Agus selalu membaca ayat-ayat quran untuk mengusir rasa takut dalam dirinya.
Setelah lebih kurang 20 menit perjalanan, Agus pun sampai di sawah, “Alhamdulillah saya sampai di sawah” gumam Agus, dengan hati-hati ditelusuri sawah satu persatu sambil memasukkan air ke dalamnya, ketika mata ngantuk Agus tidur di pematang sawah sambil sesekali melihat-lihat kearah muara air, karena jangan-jang ditutup oleh pemilik sawah lainnya.
Anak yang seharusnya tidur nyenyak dikasur yang empuk, malam itu tidur beralaskan tanah dan rerumputan, berselimutkan embun yang menusuk tulang, ini dilakukan karena rasa sayang pada emaknya.
Jam sudah menunjukkan 2.30 dini hari, Agus bangun dari tidurnya dan mulai berniat untuk pulang, dia pun pulang dengan bermodal keberani dan sayang pada emak, menelusuri rimbunan semak dan pepohonan di malam yang gelap gulita menuju rumahnya.
setelah beberapa menit Agus sampai di pintu rumah, “Assalamu’alaikum” ucap Agus, dari dalam emak menjawab “waalaikumussalam”, emak membuka pintu, dan menyuruh Agus istirahat dan tidur, dengan sisa-sisa ngantuk semalam Agus pun tertidur, emak merasa sedih melihat anaknya, karena belum seharusnya dia lakukan ini, dengan rasa sedih emak berdo’a “Ya allah semoga anak ku ini tidak seperti kehidupanku ini kelak, jadikan dia anak yang sukses ya Allah. Aamiin”, setelah menyelimuti Agus, emak beranjak kedapur menyiapkan sarapan pagi.